Pengaruh Lemak Terhadap kesehatan

Kamis, 10 Maret 2022

UU No. 22 Tahun 1997

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1997
TENTANG
NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia
sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat
kesehatannya;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara
lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai
obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika;
c. bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama;
d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan
narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku adalah kejahatan karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar
bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
e. bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi
yang tinggi dan teknologi canggih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e serta pertimbangan bahwa Undangundang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi, maka perlu dibentuk Undang-undang
baru tentang Narkotika;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol
yang mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Against Illicit Traffic
in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances) (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3673);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Kesehatan.
2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau
mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk
memproduksi obat.
3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah Pabean.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.
5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak
dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor narkotika.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke
tempat lain, dengan cara, moda, atau sarana angkutan apapun.
9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan
untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.
10. Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk
melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.
11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah
di Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan atau tanpa berganti sarana
angkutan.
12. Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan
pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi
dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.
14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika.
16. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar
bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak
pidana narkotika.
18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui
telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.
19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun
bukan.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi :
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(3) Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana
terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 3
Pengaturan narkotika bertujuan untuk :
a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan.
Pasal 5
Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang
digunakan untuk kepentingan lainnya.
BAB III
PENGADAAN
Bagian Pertama
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 6
(1) Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
(2) Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun
rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.
(3) Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi pedoman pengadaan,
pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan
Menteri Kesehatan.
Pasal 7
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri dan/atau sumber lain
dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah
pengendalian, pengawasan, dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 8
(1) Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada pabrik obat tertentu yang telah
memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses
produksi, bahan baku narkotika, dan hasil akhir dari proses produksi narkotika.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah
yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan
yang ketat dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam proses
produksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan
Pasal 10
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun swasta, yang secara khusus atau yang salah satu
fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menanam,
menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin
dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 11
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan secara khusus.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada
dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri Kesehatan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan/atau
ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif oleh
Menteri Kesehatan berupa :
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
BAB IV
IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Pertama
Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 12
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah
memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan
impor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
Pasal 13
(1) Importir narkotika harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan impor narkotika dari
Menteri Kesehatan.
(2) Surat persetujuan impor narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara
pengekspor.
Pasal 14
Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan
tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
pengekspor.
Pasal 15
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah
memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan
ekspor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika .
Pasal 16
(1) Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari
Menteri Kesehatan.
(2) Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara
pengimpor.
Pasal 17
Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan
tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
pengimpor.
Pasal 18
Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar
negeri.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh surat persetujuan impor dan surat persetujuan
ekspor narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Pengangkutan
Pasal 20
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan surat persetujuan impor
narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
(2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang
dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 22
Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki Wilayah Negara Republik Indonesia wajib
membawa dan bertang-gung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dari Menteri Kesehatan dan
dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara pengekspor.
Pasal 23
(1) Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen
persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan
ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan
surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 24
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang
aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.
(3) Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib
melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh
Pejabat Bea dan Cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara,
melakukan tindakan-tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan
menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 25
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 26
(1) Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah
negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
(2) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor
narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang :
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor narkotika.
Pasal 27
Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya
persetujuan dari :
a. pemerintah negara pengekspor narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.
Pasal 28
Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang
mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 30
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau transito narkotika.
Pasal 31
(1) Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri
Kesehatan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyampaikan hasil
penerimaan impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB V
PEREDARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 32
Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik
dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 33
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
(2) Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku baik alamiah maupun sintetis dapat diedarkan tanpa
wajib daftar pada Departemen Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran narkotika dalam bentuk obat jadi dan
peredaran narkotika yang berupa bahan baku diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 34
Setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 35
(1) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
dapat melakukan kegiatan penyaluran narkotika berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri
Kesehatan.
Pasal 36
(1) Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
(2) Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :
a. eksportir ;
b. pedagang besar farmasi tertentu;
c. apotek;
d. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
e. rumah sakit; dan
f. lembaga ilmu pengetahuan tertentu.
(3) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d. rumah sakit;
e. lembaga ilmu pengetahuan; dan
f. eksportir.
(4) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :
a. rumah sakit pemerintah;
b. puskesmas; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 37
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu
kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyaluran narkotika diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 39
(1) Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh :
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. puskesmas;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :
a. rumah sakit;
b. puskesmas;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal:
a. menjalankan praktik dokter dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyerahan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
BAB VI
LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 41
(1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan
baku narkotika.
(2) Label pada kemasan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar,
kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam
kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 42
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara publikasi dan pencantuman label sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau
membawa narkotika.
(2) Pengguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang
dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah.
Pasal 45
Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 46
(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :
a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila
pencandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila
pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Pasal 48
(1) Pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi.
(2) Rehabilitasi meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 49
(1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(2) Atas dasar persetujuan Menteri Kesehatan, lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat
dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika.
(3) Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat
diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 50
Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri
Sosial.
Pasal 51
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan Keputusan Menteri Sosial.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 52
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya:
a. memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengemb angan ilmu
pengetahuan;
b. mencegah dan memberantas segala bentuk penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
c. mencegah pelibatan anak di bawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang narkotika guna
kepentingan pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi pecandu narkotika baik yang diselenggarakan oleh
Pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 53
Pemerintah mengupayakan kerja sama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain dan/atau badan
internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan
kepentingan nasional.
Pasal 54
(1) Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
(2) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam rangka
ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(3) Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 55
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam pengendalian dan pengawasan terhadap importir, eksportir, pabrik
obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, dan lembaga rehabilitasi medis.
(2) Petugas yang melaksanakan pengawasan, dilengkapi dengan surat tugas.
(3) Dalam hal diketemukan adanya bukti permulaan yang cukup atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut
diduga telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini, Menteri Kesehatan berwenang
mengenakan sanksi adminis tratif dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
(4) Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, sanksi administratif dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dapat ditangguhkan untuk sementara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 57
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika.
(3) Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
Pasal 58
Pemerintah memberi penghargaan kepada anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa dalam membantu
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan/atau pengungkapan
tindak pidana narkotika.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara
pemberian penghargaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMUSNAHAN
Pasal 60
Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal :
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses
produksi;
b. kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengemb angan ilmu
pengetahuan; atau
d. berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 61
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah,
orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan
tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri
Kesehatan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurangkurangnya
memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; dan
c. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 62
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan atau penyidikan,
pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh pejabat
yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatan, dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang
menguasai barang sitaan;
b. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap, pemusnahan dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.
(2) Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
tidak dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia dengan disaksikan pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.
(3) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita
acara yang sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini.
BAB XI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 63
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika, dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 64
Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna
penyelesaian secepatnya.
Pasal 65
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kepada Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi masalah narkotika dapat diberikan
wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana narkotika.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana narkotika;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana
narkotika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti perkara tindak pidana narkotika;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana narkotika;
f. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan tindak pidana narkotika; dan
g. menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan tindak pidana narkotika.
Pasal 66
(1) Penyidik berwenang untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat
perhubungan lainnya, yang diduga keras mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang sedang
dalam penyidikan.
(2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain
yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana
narkotika.
(3) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlangsung untuk jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari.
Pasal 67
(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan
yang cukup melakukan tindak pidana narkotika untuk paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
(2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum mencukupi, maka atasan
langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling lama 48
(empat puluh delapan) jam.
Pasal 68
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang melakukan teknik penyidikan penyerahan yang
diawasi dan teknik pembelian terselubung.
Pasal 69
(1) Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika, atau yang diduga narkotika, atau yang mengandung narkotika
wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.
(2) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri
Sipil, penyidik wajib memberitahukan atau menyerahkan barang sitaan tersebut kepada Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri
setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(3) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada Kepala Kejaksaan
Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan
penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan pejabat yang ditunjuk
oleh Menteri Kesehatan.
(4) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang menerima penyerahan barang sitaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan barang sitaan oleh penyidik;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. identitas lengkap pejabat yang melakukan serah terima barang sitaan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan
sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan, dan dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak
dilakukan penyitaan.
(6) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang sitaan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan sampel serta pemeriksaan di laboratorium
diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan narkotika yang disita ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika dari
penyidik, selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan narkotika
tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, pemanfaatan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan, dan/atau dimusnahkan.
(2) Barang sitaan narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan
untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak
menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
(3) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 62
ayat (1) huruf a.
(4) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima)
hari terhitung sejak menerima penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Keputusan Jaksa Agung.
Pasal 71
(1) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia wajib memusnahkan tanaman narkotika yang diketemukan
selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sejak saat diketemukan, setelah sebagian disisihkan untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(2) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun diketemukan dan dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak-pihak lain yang menyaksikan
pemusnahan.
(3) Bagian narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpan oleh Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk kepentingan pembuktian atau diserahkan kepada Menteri
Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 72
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan
barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 73
(1) Apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap diketahui bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 diperoleh
atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan setiap orang atau badan yang
diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan tersangka atau
terdakwa.
Pasal 75
Dalam hal tertentu, hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan setiap orang atau badan, bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika yang
dilakukan terdakwa.
Pasal 76
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika yang
sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 77
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam tindak pidana narkotika atau yang menyangkut narkotika serta
hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera dimusnahkan,
kecuali sebagian atau seluruhnya ditetapkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Dalam hal alat yang dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad
baik, maka pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap peramp asan tersebut kepada pengadilan yang
bersangkutan, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat
pertama.
(4) Tata cara pemusnahan dan pemanfaatan narkotika, alat, dan hasil dari tindak pidana narkotika dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman; atau
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 79
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan II,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah);
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan III,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Pasal 80
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
b. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah);
c. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan III, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18
(delapan belas) tahun, dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun, dan denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh milyar
rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat
milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah).
Pasal 81
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah);
b. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah);
c. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 18 (delapan
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas belas) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat
milyar rupiah).
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar
rupiah).
Pasal 82
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
b. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah);
c. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga
milyar rupiah).
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh milyar
rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar
rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah).
Pasal 83
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 78,
79, 80, 81, dan Pasal 82, diancam dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
pasal-pasal tersebut.
Pasal 84
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan II untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan III untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 85
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun;
b. menggunakan narkotika Golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun;
c. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
Pasal 86
(1) Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) yang
sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.
Pasal 87
Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan
kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau
membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78,
79, 80, 81, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 88
(1) Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan
pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 89
Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara.
Pasal 90
Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara.
Pasal 91
Penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam Undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana
kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dapat pula dipidana dengan pidana
tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan perkara tindak pidana nakotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 93
Nakhoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 atau Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 94
(1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 95
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang
pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 96
Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana
pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 97
Barang siapa melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 dan
Pasal 87, di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan Undang-undang ini
Pasal 98
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan telah menjalani pidananya
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik
Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah
Negara Republik Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 99
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), bagi :
a. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah,
apotik, dan dokter yang mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 100
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak
pidana narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 101
(1) Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika
ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
(2) Prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan dan pengawasan prekursor dan alat-alat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tamb ahan Lembaran Negara Nomor 3086) pada
saat Undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 103
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor REFR DOCNM="76uu009">9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 104
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 67
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1997
TENTANG
NARKOTIKA
UMUM
Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usahausaha
di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila
disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran
narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya
generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa
yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh
perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang
terorganisasi secara mantap, rapih, dan sangat rahasia.
Di samping itu, kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi
dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkemb angan kualitas kejahatan
narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.
Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang
berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan dalam perikehidupan, hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan mengingat ketentuan
baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Dengan
demikian, undang-undang narkotika yang baru diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia
dijadikan ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika dengan membentuk undang-undang baru.
Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup
materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktorfaktor
di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang
berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika,
pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon,
teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung, dan permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak
pidana narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat
bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat mengancam ketahanan
keamanan nasional.
Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional di bidang
narkotika dengan tetap memperhatikan secara sungguh-sungguh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang terkait antara lain Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, Kesehatan, Kepolisian, Kepabeanan,
Psikotropika, dan Pertahanan Keamanan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan :
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mem-punyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 3
Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan" adalah penggunaan narkotika terutama untuk kepentingan
pengobatan termasuk juga digunakan untuk kepentingan rehabilitasi.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Yang dimaksud dengan "untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan", termasuk untuk kepentingan
pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan penelitian dan pengembangan.
Dalam rangka penelitian, narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat terbatas dan
dilaksanakan oleh orang yang diberi wewenang khusus untuk itu oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kebutuhan narkotika setiap tahun selain untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan juga termasuk untuk keperluan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran
gelap narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan narkotika dari sumber lain adalah narkotika yang dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh
antara lain dari bantuan atau berdasarkan kerja sama dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang diperoleh dari
hasil penyitaan atau perampasan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Narkotika yang diperoleh dari sumber lain dipergunakan terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk juga keperluan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi
Pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap
narkotika.
Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini membuka kemungkinan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu pabrik obat yang
berhak memproduksi obat narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan
pangawasan narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengendalian tersendiri" adalah pengendalian yang dilakukan secara terpisah dengan
pengendalian yang lain yakni dikaitkan dengan rencana kebutuhan tahunan narkotika, baik kebutuhan dalam wujud
bahan baku narkotika maupun dalam wujud obat sebagai hasil akhir proses produksi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan produksi termasuk kultivasi (pembudidayaan) tanaman yang mengandung narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam pengertian lembaga ilmu pengetahuan termasuk juga instansi Pemerintah yang karena tugas dan fungsinya
berwenang melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "balai pengobatan" adalah balai pengobatan yang dipimpin oleh dokter.
Yang dimaksud dengan "lembaga ilmu pengetahuan" termasuk lembaga pendidikan, pelatihan, keterampilan,
penelitian dan pengembangan baik yang diselenggarakan Pemerintah maupun swasta.
Ayat (2)
Kewajiban dokter yang melakukan praktek pribadi untuk membuat laporan yang berbentuk catatan mengenai
kegiatan yang berhubungan dengan narkotika yang sudah melekat pada rekam medis dan disimpan sesuai dengan
ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan yang memberikan pelayanan medis, wajib membuat laporan
mengenai kegiatan yang berhubungan dengan narkotika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep
selama 3 (tiga) tahun.
Catatan mengenai narkotika di badan usaha sebagaimana diatur dalam ayat ini disimpan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dokumen pelaporan mengenai narkotika yang berada di bawah kewenangan Departemen Kesehatan, disimpan
sesuai dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam waktu 3 (tiga) tahun.
Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiap
waktu dapat mengetahui tentang persediaan narkotika yang ada dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam
penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pelanggaran termasuk juga segala bentuk penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan "pencabutan izin" adalah izin yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola
narkotika.
Pasal 12
Pemberian izin untuk mengimpor narkotika oleh Menteri Kesehatan didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan
dilakukan sangat selektif. Oleh karena itu izin tersebut diberikan hanya kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar
farmasi milik negara. Dengan demikian narkotika yang masuk ke Indonesia hanya melalui satu pintu sehingga
memudahkan pengawasan dan pengendaliannya.
Namun demikian, dalam keadaan tertentu dengan memperhatikan ketersediaan narkotika, keadaan perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara dan hal-hal lain yang dinilai penting, secara selektif Menteri Kesehatan dapat
memberi izin kepada perusahaan pedagang besar farmasi milik swasta untuk melakukan impor narkotika.
Lembaga ilmu pengetahuan yang menerima narkotika dari luar negeri atas dasar kerja sama dengan lembaga asing
hanya dapat dilakukan melalui importir yang memiliki izin, hanya digunakan untuk kepentingan sendiri dan dilarang
mengedarkannya.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Pelaksanaan impor atau ekspor narkotika tetap tunduk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Yang dimaksud dengan "kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri" adalah kawasan di
pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor narkotika
agar lalu lintas narkotika mudah diawasi.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Pasal ini berintikan jaminan bahwa masuknya narkotika baik melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur
kepabeanan yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu lintas narkotika di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan "penanggung jawab pengangkut" adalah kapten penerbang atau nakhoda.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penentuan batas waktu menyampaikan laporan dimaksudkan untuk kepastian hukum dan memperketat pengawasan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jenis adalah sediaan dalam bentuk garam atau basa.
Yang dimaksud dengan bentuk adalah sediaan dalam bentuk bahan baku atau obat jadi seperti tanaman, serbuk,
tablet, suntikan, kapsul, cairan.
Yang dimaksud dengan jumlah adalah angka yang menunjukkan banyaknya narkotika yang terdiri dari jumlah
satuan berat dalam kilogram, isi dalam mililiter.
Pasal 27
Pada dasarnya dalam transito narkotika dilarang mengubah arah negara tujuan. Namun, apabila dalam keadaan
tertentu misalnya terjadi keadaan memaksa (force majeur) sehingga harus dilakukan perubahan negara tujuan, maka
perubahan tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal ini.
Selama menunggu pemenuhan persyaratan yang diperlukan, narkotika tetap disimpan di kawasan pabean, dan
tanggung jawab pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Batas waktu 7 (tujuh) hari kerja dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika laporan diserahkan
secara langsung. Dengan adanya pembatasan waktu kewajiban menyampaikan laporan, maka importir harus segera
memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot narkotika yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan Impor
yang dimiliki.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Yang dimaksud dengan wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah adalah bahwa setiap peredaran narkotika
termasuk pemindahan narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir, wajib disertai dengan dokumen yang
dibuat oleh importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek.
Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor, faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep
dokter atau salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari narkotika yang bersangkutan.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan importir, eksportir, pabrik obat, dan pedagang besar farmasi adalah importir, eksportir,
pabrik obat, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan narkotika.
Ayat (2)
Izin khusus penyaluran narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat
keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tersebut tidak dikeluarkan oleh Menteri
Kesehatan.
Pasal 36
Pentingnya penegasan mengenai penyaluran narkotika dimaksudkan agar tercipta tatanan penyaluran narkotika yang
lebih sederhana tapi lebih tegas mekanismenya. Sehingga dengan demikian akan menjadi jelas penyaluran dan
perolehan narkotika bagi setiap badan yang dapat terlibat dalam penyaluran sah narkotika.
Rumah sakit yang telah memiliki instalasi farmasi memperoleh narkotika dari pabrik obat tertentu atau pedagang
besar farmasi tertentu.
Yang dimaksud dengan sarana sediaan farmasi pemerintah tertentu adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi
dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Rumah sakit yang belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat memperoleh narkotika dari apotek.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penyerahan narkotika oleh dokter yang menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek, memerlukan
surat izin menyimpan narkotika dari Menteri Kesehatan atau pejabat yang diberi wewenang. Izin tersebut melekat
pada surat keputusan penempatan di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Pencantuman label dimaksudkan untuk memudahkan pengenalan sehingga memudahkan pula dalam pengendalian
dan pengawasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 42
Yang dimaksud dengan dipublikasikan adalah yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk narkotika
baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika, di kalangan terbatas kedokteran dan farmasi.
Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan narkotika, tidak termasuk kriteria
publikasi.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan narkotika, dalam hal ini
khusus untuk pecandu narkotika, maka diperlukan keiikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan
tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
Istilah "cukup umur" sesuai dengan pengertian yang ada di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Pasal 47
Penggunaan kata memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbuki bersalah melakukan tindak pidana narkotika
mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang
bersangkutan.
Sedangkan penggunaan kata menetapkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak
pidana narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi
pecandu narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa
pecandu narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, tetapi tetap wajib
menjalani pengobatan dan perawatan.
Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana
narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut
merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pencandu narkotika yang tidak terbukti bersalah
biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan
rumah dan tahanan kota.
Pasal 48
Rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan
kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan rumah sakit adalah rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Yang dimaksud dengan bekas pecandu narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap
narkotika secara fisik dan psikis.
Yang dimaksud dengan lembaga rehabilitasi sosial adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Kerja sama internasional yang dimaksud termasuk dalam rangka pemberantasan kejahatan narkotika transnasional
yang terorganisasi.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penanganan masalah narkotika pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab berbagai instansi Pemerintah di
samping keikutsertaan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun demikian, agar penanganan masalah narkotika dapat dilakukan secara terpadu dan mencapai hasil yang
maksimal, perlu dilakukan koordinasi dalam menetapkan kebijaksanaan nasional di bidang narkotika.
Pelaksanaan koordinasi ini sama sekali tidak mengurangi tugas dan tanggung jawab instansi Pemerintah tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengendalian dan pengawasan oleh Menteri Kesehatan dalam ayat ini adalah :
a. melaksanakan pemeriksaan setempat dan/atau pengambilan contoh pada sarana produksi, penyaluran,
pengangkutan, penyimpanan, sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas rehabilitasi;
b. memeriksa surat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan di bidang narkotika;
c. melakukan pengamanan terhadap narkotika yang tidak memenuhi standar dan persyaratan;
d. melaksanakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Sanksi administratif dilakukan sebagai upaya pencegahan awal meluasnya peredaran dan penggunaan narkotika
secara tidak sah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Dalam pemberian penghargaan harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang
diberi penghargaan.
Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan lainnya.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu misalnya, karena kondisi tempat kejadian perkara tindak pidana narkotika
tidak memungkinkan untuk menghadirkan pejabat instansi terkait secara lengkap dalam pelaksanaan pemusnahan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Apabila ada perkara lain yang oleh undang-undang juga ditentukan untuk didahulukan, maka penentuan prioritas
diserahkan kepada pengadilan.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secepatnya adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan putusan, sampai
dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi narkotika meliputi
Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan departemen
terkait lainnya.
Kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil departemen tersebut diberikan oleh Undang-undang ini pada
bidang tugasnya masing-masing, yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan fungsi koordinasi dengan
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) ini merupakan pengecualian dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos.
Pengecualian ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penyidikan, karena barang bukti yang menyangkut
narkotika sangat mudah dilenyapkan sehingga akan menyulitkan penyidikan.
Ketentuan ayat ini mengatur bahwa hanya surat-surat dan kiriman melalui pos dan alat perhubungan lain, seperti
biro jasa pengiriman dan angkutan yang dicurigai atau diduga keras berhubungan langsung dengan tindak pidana
narkotika, dapat dibuka untuk diperiksa.
Untuk membuka atau memeriksa barang kiriman, tahapannya tidak hanya dalam proses penyidikan, tetapi juga
dalam proses penuntutan.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat (2) ini merupakan penambahan kewenangan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lainnya hanya dapat dilakukan atas izin tertulis
dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 30 (tiga puluh) hari adalah 30 (tiga puluh) hari kalender.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Perpanjangan waktu penangkapan untuk paling lama 48 (empat puluh delapan) jam dimaksudkan untuk pemeriksaan
laboratorium, dalam rangka membuktikan kebenaran atas kecurigaan atau dugaan keras adanya narkotika. Bila
ternyata tidak terbukti maka tersangka segera dibebaskan.
Pasal 68
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan penambahan kewenangan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Tugas teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan atas perintah tertulis Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya.
Dalam pelaksanaan tugas kewenangan yang dimaksud dalam Pasal ini Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia dapat melakukan koordinasi dan melibatkan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memberitahukan adalah Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil memberitahukan kepada
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia bahwa telah dilakukan penyitaan narkotika dan barang tersebut
berada pada penyidik sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan menyerahkan adalah Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil menyerahkan barang sitaan
kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam adalah bahwa :
a. surat pemberitahuan dan tembusannya serta tembusan berita acara penyitaan, sudah diterima pejabat instansi
dimaksud yang dibuktikan dengan tanda terima; atau
b. penyerahan barang sitaan, tembusan berita acara penyitaan, dan tembusan berita acara penyerahan barang
sitaan, sudah diterima pejabat instansi dimaksud yang dibuktikan dengan tanda terima.
Yang dimaksud dengan 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam adalah 3 (tiga) hari kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Sebagian barang sitaan yang disisihkan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium harus dalam keadaan disegel dan
penyerahannya kepada petugas laboratorium dilakukan dengan pembuatan berita acara.
Pemeriksaan di laboratorium dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran bahwa barang yang disita tersebut adalah
narkotika.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Ketetapan mengenai status barang sitaan sudah harus diterima oleh penyidik dan pejabat instansi terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja yang
dibuktikan dengan tanda terima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Keputusan Jaksa Agung ditetapkan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Kesehatan.
Pasal 71
Ayat (1)
Tanaman narkotika yang dimaksud dalam ayat ini tidak hanya yang diketemukan di ladang, juga yang diketemukan
di tempat-tempat lain atau tempat tertentu yang ditanami narkotika, termasuk tanaman narkotika dalam bentuk
lainnya yang ditemukan dalam waktu bersamaan di tempat tersebut.
Yang dimaksud dengan "sebagian" adalah dalam jumlah yang wajar dari tanaman narkotika untuk digunakan
sebagai barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan pejabat yang menyaksikan pemusnahan adalah pejabat yang mewakili unsur Kejaksaan dan
Departemen Kesehatan.
Dalam hal kondisi tempat tanaman narkotika ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan unsur pejabat
tersebut, maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota masyarakat setempat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Yang dimaksud dengan seluruh harta bendanya adalah seluruh kekayaan yang dimiliki, baik yang ada dalam
penguasaannya maupun yang ada dalam penguasaan pihak lain (isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan),
yang diperoleh atau diduga diperoleh dari tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Pasal ini bermaksud untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan
mengenai suatu tindak pidana narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa,
atau jaringannya, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Pasal 77
Ayat (1)
Dalam menetapkan narkotika yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses
penyidikan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 71
Yang dimaksud dengan "hasilnya" dalam ayat ini adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang diketahui atau
diduga keras diperoleh dari tindak pidana narkotika.
Ayat (2)
Kata segera dimusnahkan dalam ayat ini pelaksanaannya selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penyerahan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan harus diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau
pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "alat" dalam ayat ini tidak termasuk pengertian alat yang potensial dapat digunakan untuk
melakukan tindak pidana narkotika.
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan narkotika adalah pemanfaatan narkotika untuk pengembangan ilmu
pengetahuan.
Yang dimaksud dengan pemanfaatan alat dan hasil adalah pemanfaatan alat dan hasil dari tindak pidana narkotika
untuk menunjang usaha rehabilitasi medis dan sosial, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dilakukan secara terorganisasi adalah tindak pidana narkotika tersebut dilakukan oleh
sekelompok orang, secara rapih, tertib, dan rahasia serta mempunyai jaringan nasional dan internasional.
Ayat (4)
Ketentuan pidana dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga untuk pengurus korporasi.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Yang dimaksud dengan menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri adalah penggunaan narkotika yang dilakukan
oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Dan jika orang yang bersangkutan menderita ketergantungan,
maka dia harus menjalani rehabilitasi baik medis maupun sosial, dan pengobatan serta rehabilitasi bagi yang
bersangkutan akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Terhadap orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah melaporkan tidak dituntut pidana
didasarkan pada pertimbangan bahwa tindakan tersebut mencerminkan itikad baik sebagai wujud peran serta
masyarakat.
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keluarga dalam ayat ini adalah orang tua atau wali dari pecandu narkotika.
Pasal 89
Yang dimaksud dengan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 adalah
pengurus pabrik obat tidak melaksanakan kewajiban untuk mencantumkan label dan mempublikasikan narkotika di
luar media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Pasal 90
Perampasan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini didasarkan pada putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 91
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah Ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) butir
1, 2, dan 6 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Yang dimaksud dengan kata barang siapa adalah setiap orang baik warga negara Republik Indonesia maupun warga
negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika di luar wilayah negara Republik Indonesia dan masuk wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam
memproses pembuatan narkotika.
Alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika seperti alat-alat untuk
membuat atau memproduksi narkotika, alat madat, alat suntik dan alat lainnya yang dipergunakan untuk
memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia.
Prekursor dan alat-alat tersebut dinyatakan di bawah pengawasan Pemerintah dimaksudkan agar barang-barang
tersebut dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3698
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1997
TENTANG NARKOTIKA
a. GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali
bijinya.
2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L
yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan
kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :
a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan
pelarutan, pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud
mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan
daun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan
bijinya.
5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus
Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui
perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk
mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8. Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah,
jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina: 3-0-acetiltetrahidro-7a-(1-hidroksi- 1-metilbutil)-6, 14-endoeteno- oripavina
12. Acetil-alfa-metilfentanil: N-[1-(a- metilfenetil)-4- piperidil] asetanilida
13. Alfa-metilfentanil: N-[1(a-metilfenetil)-4- piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil: N-[1-]1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
15. Beta-hidroksifentanil: N-[1-(beta- hidroksifenetil)-4- piperidil] propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metil-: N-[1-(beta- hidroksifenetil)-3-metil- 4-fentanil piperidil] propionanilida.
17. Desomorfina: dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina: tetrahidro-7a-(1-hidroksi-1- metilbutil)-6,14-endoeteno-oripavina
19. Heroina: diacetilmorfina
20. Ketobemidona: 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4- propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil: N-(3-metil-1-fenetil-4- piperidil) propionanilida
22. 3-metiltiofentanil: N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil: 4'-fluoro-N-(1-fenetil-4- piperidil) propionanilida
25. PEPAP: 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester)
26. Tiofentanil: N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
b. GOLONGAN II
1. Alfasetilmetadol: Alfa -3-asetoksi-6-dimetil amino- 4,4-difenilheptana
2. Alfameprodina: alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
3. Alfametadol: alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3- heptanol
4. Alfaprodina: alfa-1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
5. Alfentanil: N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-1H- tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-
piperidinil]-N-fenilpropanamida
6. Allilprodina: 3-allil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
7. Anileridina: asam 1-para-aminofenetil-4- fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester
8. Asetilmetadol: 3-asetoksi-6-dimetilamino-4,4- difenilheptana
9. Benzetidin: asam 1-(2-benziloksietil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina: 3-benzilmorfina
11. Betameprodina: beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
12. Betametadol: beta-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3- heptanol
13. Betaprodina: beta-1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
14. Betasetilmetadol: beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4- difenilheptana
15. Bezitramida: 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso- 3-propionil-1-benzimidazolinil)-
piperidina
16. Dekstromoramida: (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3- difenil-4-(1-pirolidinil) butil]- morfolina
17. Diampromida: N-[2-(metilfenetilamino)- propil]propionanilida
18. Dietiltiambutena: 3-dietilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1- butena
19. Difenoksilat: asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
20. Difenoksin: asam 1-(3-siano-3,3- difenilpropil)-4- fenilisonipekotik
21. Dihidromorfina
22. Dimefeptanol: 6-dimetilamino-4,4-difenil-3- heptanol
23. Dimenoksadol: 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1- difenilasetat
24. Dimetiltiambutena: 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1- butena
25. Dioksafetil butirat: etil-4-morfolino-2,2- difenilbutirat
26. Dipipanona: 4,4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
27. Drotebanol: 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
29. Etilmetiltiambutena: 3-etilmetilamino-1,1-di-(2'- tienil)-1-butena
30. Etokseridina: asam 1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
31. Etonitazena: 1-dietilaminoetil-2-para- etoksibenzil-5- nitrobenzimedazol
32. Furetidina: asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
33. Hidrokodona: dihidrokodeinona
34. Hidroksipetidina: asam 4-meta-hidroksifenil-1- metilpiperidina-4-karboksilat etil ester
35. Hidromorfinol: 14-hidroksidihidromorfina
36. Hidromorfona: dihidrimorfinona
37. Isometadona: 6-dimetilamino-5-metil-4,4-difenil-3- heksanona
38. Fenadoksona: 6-morfolino-4,4-difenil-3-heptanona
39. Fenampromida: N-(1-metil-2-piperidinoetil)- propionanilida
40. Fenazosina: 2'-hidroksi-5,9-dimetil-2-fenetil-6,7- benzomorfan
41. Fenomorfan: 3-hidroksi-N-fenetilmorfinan
42. Fenoperidina: asam 1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
43. Fentanil: 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
44. Klonitazena: 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil 5- nitrobenzimidazol
45. Kodoksima: dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
46. Levofenasilmorfan: (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
47. Levomoramida: (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3- difenil-4-(1- pirolidinil)-butil] morfolina
48. Levometorfan: (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
50. Metadona: 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanona
51. Metadona intermediat: 4-siano-2-dimetilamino-4,4- difenilbutana
52. Metazosina: 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6,7- benzomorfan
53. Metildesorfina: 6-metil-delta-6-deoksimorfina
54. Metildihidromorfina: 6-metildihidromorfina
55. Metopon: 5-metildihidromorfinona
56. Mirofina: miristilbenzilmorfina
57. Moramida intermediat: asam (2-metil-3-morfolino-1,1- difenilpropana karboksilat
58. Morferidina: asam 1-(2-morfolinoetil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester.
59. Morfina-N-oksida
60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-
N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
61. Morfina
62. Nikomorfina: 3,6-dinikotinilmorfina
63. Norasimetadol: (±)-alfa-3-asetoksi-6- metilamino-4,4- difenilheptana
64. Norlevorfanol: (-)-3-hidroksimorfinan
65. Normetadona: 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
66. Normorfina: dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
67. Norpipanona: 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
68. Oksikodona: 14-hidroksidihidrokodeinona
69. Oksimorfona: 14-hidroksidihidromorfinona
70. Opium
71. Petidina intermediat A: 4-siano-1-metil-4- fenilpiperidina
72. Petidina intermediat B: asam 4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester
73. Petidina intermediat C: asam 1-metil-4-fenilpiperidina- 4-karboksilat
74. Petidina: asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester
75. Piminodina: asam 4-fenil-1-(3-fenilaminopropil)- piperidina-4-karboksilat etil ester
76. Piritramida: asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(1- piperidino)-piperidina-4-karboksilat
amida
77. Proheptasina: 1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksiazasikloheptana
78. Properidina: asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4- karboksilatisopropil ester
79. Rasemetorfan: (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
80. Rasemoramida: (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1- pirolidinil)-butil]-morfolina
81. Rasemorfan: (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
82. Sufentanil: N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)- etil]-4-piperidil]propionanilida
83. Tebaina
84. Tebakon: asetildihidrokodeinona
85. Tilidina: (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil- 3-sikloheksena-1-karboksilat
86. Trimeperidina: 1,2,5-trimetil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
87. Garam-garam dari Narkotika dalam Golongan tersebut di atas.
c. GOLONGAN III
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena: a-(+)-4-dimetilamino-1,2- difenil-3-metil-2-butanol propionat
3. Dihidrokodeina
4. Etilmorfina: 3-etil morfina
5. Kodeina: 3-metil morfina
6. Nikodikodina: 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina: 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina: N-demetilkodeina
9. Polkodina: morfoliniletilmo rfina
10. Propiram: N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2- piridilpropionamida
11. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
12. Campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.
Kutipan : MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1997