Pengaruh Lemak Terhadap kesehatan

Senin, 01 Maret 2010

ANALISIS CAMPURAN DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN DENGAN SPEKTROFOTOMETER

Sumber: http://annisanfushie.wordpress.com
ANALISIS CAMPURAN DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN DENGAN SPEKTROFOTOMETER

ANNISA SYABATINI

J1B107032

KELOMPOK 4

PROGRAM STUDI S-1 KIMIA FMIPA UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

ABSTRAK

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitans atau absorbans suatu contoh sebagai fungsi panjang gelombang. Tujuan percobaan ini adalah untuk memeriksa keaditifan, panjang gelombang maksimum dan absorbansi KMnO4 dan K2Cr2O7 dengan spektrofotometer spektronik-20. Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitans atau absorbans suatu contoh sebagai fungsi panjang gelombang; pengukuran terhadap suatu deretan contoh pada suatu panjang gelombang tunggal mungkin juga dapat dilakukan. Metode spektrofotometri sinar tampak (visible) didasarkan pada penyerapan sinar tampak oleh suatu larutan berwarna. Percobaan dilakukan dengan melakukan pengenceran terlebih dahulu yaitu larutan KMnO4: 0,25.10-5, 0,5.10-5, 1.10-5, 2.10-5, 3.10-5 M, larutan K2Cr2O7 0,5.10-4, 1.10-4, 2.10-4, 4.10-4, 8.10-4 M, kemudian mengukur transmitan dari larutan tersebut sehingga diperoleh grafik antara panjang gelombang dengan absorbansi untuk menentukan panjang gelombang maksimum. Sedangkan larutan campuran dapat ditentukan konsentrasinya dari perhitungan dengan menggunakan grafik hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi. Dari grafik dapat diketahui bahwa panjang gelombang maksimum untuk KMnO4 400 nm dan untuk K2Cr2O7 410 nm. Nilai K pada larutan KmnO4 dengan panjang gelombang 400 nm dan 410 nm masing-masing adalah 3425, 38 dan 1174,62 sedangkan pada larutan K2Cr2O7 pada panjang gelombang 400 nm adalah 20,24 dan pada panjang gelombang 410 adalah -47,14. Pada pengukuran larutan campuran pada panjang gelombang 400 nm dan 410 nm adalah sebesar 5,408×10-4 M dan -1,51×10-3 M.

Kata Kunci : Absorbansi, spektrofotomer spektronik -20

PENDAHULUAN

Dalam analisis spektrofotometri digunakan suatu sumber radiasi yang menjorok ke dalam daerah ultraviolet spektrum itu. Dari spektrum ini, dipilih panjang-panjang gelombang tertentu dengan lebar pita kurang dari 1 nm. Proses ini memerlukan penggunaan instrumen yang lebih rumit dan karenanya lebih mahal. Instrumen yang digunakan untuk maksud ini adalah spektrofotometer, dan seperti tersirat dalam nama ini, instrumen ini sebenarnya terdiri dari dua instrumen dalam satu kotak sebuah spektrometer dan sebuah fotometer [1].

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitans atau absorbans suatu contoh sebagai fungsi panjang gelombang; pengukuran terhadap suatu deretan contoh pada suatu panjang gelombang tunggal mungkin juga dapat dilakukan. Alat-alat demikian dapat dikelompokkan naik sebagai manual atau perekam, maupun sebagai sinar-tunggal atau sinar-rangkap. Dalam praktek, alat-alat sinar tunggal biasanya dijalankan dengan tangan dan alat-alat sinar-rangkap biasanya menonjolkan pencatatan spektrum absorbsi, tetapi adalah mungkin untuk mencatat satu spektrum dengan suatu alat sinar tunggal. Unsur-unsur terpenting suatu spektrofotometer adalah sebagai berikut:

1. Sumber energi radiasi yang kontinyu dan meliputi daerah spektrum, di mana alat ditujukan untuk dijalankan.

2. Monokromator, yang merupakan suatu alat untuk mengisolasi suatu berkas sempit dari panjang gelombang-panjang gelombang daru spektrum luas yang disiarkan oleh sumber (tentu saja tepat monokromatisitas tidak dicapai).

3. Wadah untuk contoh.

4. Detektor yang merupakan suatu transducer yang mengubahenergi radiasi menjadi isyarat listrik.

5. Penguat dan rangkaian yang bersangkutan yang membuat isyarat listrik cocok untuk diamati.

6. Sistem pembacaan yang dapat mempertunjukkan besarnya isyarat listrik [2].

Panjang gelombang cahaya UV atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi yang lebih sedikit akan menyerap cahaya dalam daerah tampak (yakni senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan daripada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV yang lebih pendek [3].

Suatu spektrofotometer standar terdiri atas spektrofotometer untuk menghasilkan cahaya dengan panjang gelombang terseleksi yaitu bersifat monokromatik serta suatu fotometer yaitu suatu piranti untuk mengukur intensitas berkas monokromatik, digabungkan bersama dinamakan sebagai spektrofotometer [2].

Bila cahaya (monokromatik maupun campuran) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar masuk akan dipantulkan, sebagian di serap dalam medium itu, dan sisanya diteruskan. Jika intensitas sinar masuk dinyatakan oleh Io, Ia intensitas sinar terserap, It intensitas sinar diteruskan, Ir intensitas sinar terpantulkan, maka:

Io = Ia + It + Ir …..(1)

Untuk antar muka udara-kaca sebagai akibat penggunaan sel kaca, dapatlah dinyatakan bahwa sekitar 4 persen cahaya masuk dipantulkan. Ir biasanya terhapus dengan penggunaan suatu kontrol, seperti misalnya sel pembanding, jadi:

Io = Ia + It …..(2) [1].

Spektrum absorbsi dapat diperoleh dengan menggunakan bermacam-macam bentuk contoh: gas, lapisan tipis cairan, larutan dalam bermacam-macam pelarut, dan bahkan padat. Kebanyakan pekerjaan analitik menyangkut larutan, dan kita diharapkan di sini untuk mengembangkan satu uraian kuantitatif dari hubungan konsentrasi larutan dan kemampuannya untuk menyerap radiasi. Pada waktu yang sama, kita harus sadar bahwa besarnya absorbsi akan tergantung juga pada jarak yang dijalani oleh radiasi melewati larutan [2].

Hukum Lambert menyatakan bahwa bila cahaya monokromatik melewati medium tembus cahaya, laju berkurangnya intensitas oleh bertambahnya ketebalan, berbanding lurus dengan intensitas cahaya. Ini setara dengan menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya ketebalan medium yang menyerap. Atau dengan menyatakan bahwa lapisan manapun dari medium itu yang tebalnya sama akan menyerap cahaya masuk kepadanya dengan fraksi yang sama. hukum ini dapat dinyatakan oleh persamaan diferensial:

- …..(3)

dengan I ialah intensitas cahaya-masuk dengan panjang gelombang, l adalah tebalnya medium, dan k faktor kesebandingan [1].

Sejauh ini telah dibahas absorbsi cahaya dan transmisi cahaya untuk cahaya monokromatik sebagai fungsi ketebalan lapisan penyerap saja. Tetapi dalam analisis kuantitatif orang terutama berurusan dengan larutan. Beer mengkaji efek konsentrasi penyusun yang berwarna dalam larutan, terhadap transmisi maupun absorbsi cahaya. Dijumpainya hubungan yang sama antara transmisi dan konsentrasi seperti yang ditemukan Lambert antara transmisi dan ketebalan lapisan, yakni intensitas berkas cahaya monokromatik berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi zat penyerap secara linier. Ini dapat ditulis dalam bentuk:

It = I0.e-k’c = I0.10-0,4343k’c = I0.10-K’c …..(4) [1].

Lambert (1760) dan Beer (1852) dan juga Bouguer menunjukkan hubungan berikut:

T = Pt = 10-abc …..(5)

Po

b = jarak tempuh optik

c = konsentrasi

log (T) = log Pt = – abc …..(6)

Po

a = tetapan absorpsivitas

T = transmitansi

log 1 = log Po = abc = A …..(7)

T Pt

A = absorbansi

- log (T) i.e.A = abc …..(8)

1 = T-1 isopasitas (tidak tembus

T cahaya)

A = abc …..(9)

A = absorptivitas (yakni tetap)

Hukum di atas dapat ditinjau sebagai berikut:

1. jika suatu berkas radiasi monokromatik yang sejajar jatuh pada medium pengabsorpsi pada sudut tegak lurus setiap lapisan yang sangat kecilnya akan menurunkan intensitas berkas

b. jika suatu cahaya monokromatis mengenai suatu medium yang transparan, laju pengurangan intensitas dengan ketebalan medium sebanding dengan intensitas cahaya

1. intensitas berkas sinar monokromatis berkurang secara eksponensial bila konsentrasi zat pengabsorpsi lemah [4].

Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terikat dan elektron yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak [5].

Spektra UV-Vis telah lama digunakan untuk menentukan karakteristik gambut. Metode yang seringkali digunakan untuk menentukan karakteristik zat humus dari gambut adalah metode degradatif, dan non-degradatif, di samping itu analisis komposisi kimia dan gugus fungsi. Salah satu metode non-degradatif ialah penggunaan spektrofotometer UV-VIS [6].

Spektrofluorometrik mudah, akurat, sensitif dan selektif, spektrometrik serapan atom dan sprektrofotometrik digambarkan untuk penentuan kuantitatif dari sepuluh fluoroquinolon (amifloxacin, ciprofloxacin hydrochloride, difloxacin hydrochloride, enoxacin, enrofloxacin, levofloxacin, norfloxacin, ofloxacin pefloxacin mesylate, dan lomefloxacin hydrochloride). Pengembangan metode spektrofluorimetrik, spektrofotometrik dan spektrometrik serapan atom telah diterapkan dengan sukses untuk penentuan narkoba yang dipelajari dalam farmasi bentuk sediaan dengan suatu ketepatan dan ketelitian yang baik dibandingkan dengan pejabat dan laporan metoda-metoda seperti ketika diungkapkan oleh uji-t dan uji-F. metoda spektrometrik serapan atom juga digunakan untuk penentuan obat-obatan yang dipelajari di dalam air seni dan plasma. Metoda-metoda yang diusulkan bersifat menguntungkan daripada banyak dari metoda-metoda spektrofotometri yang dilaporkan untuk penentuan narkoba yang dipelajari dalam farmasi bentuk sediaan dan dalam cairan biologis. Mereka juga lebih murah, lebih sederhana dan waktu yang mengkonsumsi dibanding metoda-metoda HPLC [7].

METODOLOGI PERCOBAAN

A. Alat

Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah spektrofotometer spektronik-20, tabung kuvet, labu takar, pipet 10 ml, pipet 5 ml, pipet tetes, botol semprot dan botol sampel.

B. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah larutan baku KMnO4 10-4 M, larutan baku K2Cr2O7 5×10-4 M, larutan H2SO4 dan akuades.

1. C. Cara kerja
2. 1. Keaditifan absorbans larutan KMnO4 dan K2Cr2O7

Larutan-larutan KMnO4 10-4 M, K2Cr2O7 5×10-4 M dan larutan campuran KMnO4 dan K2Cr2O7 dengan perbandingan 12:8 disiapkan. Absorbans larutan KMnO4 10-4 M, K2Cr2O7 5×10-4 M diukur dengan panjang gelombang 400-590 nm dengan kenaikan 10 nm. Kemudian dibuat grafik hubungan antara panjang gelombang dengan nilai absorbans dan panjang gelombang maksimum ditentukan dimana absorbans bernilai maksimum.

1. 2. Nilai K

Larutan KMnO4 diencerkan dengan H2SO4 sampai 100 ml dengan konsentrasi 2,5.10-5 M; 0,5.10-5 M; 1.10-5 M; 2.10-5 M; 3.10-5 M. Dengan langkah yang sama, larutan K2Cr2O7 diencerkan dengan akuades sampai 100 ml dengan konsentrasi 2,5.10-5 M; 0,5.10-5 M; 1.10-5 M; 2.10-5 M; 3.10-5 M. Diukur absorbans masing-masing larutan pada panjang gelombang maksimum K2Cr2O7 dan panjang gelombang KMnO4 serta sebaliknya. Kemudian dibuat grafik hubungan antara konsentrasi dengan panjang gelombang, sehingga nantinya akan diperoleh empat grafik dan empat nilai K (nilai K sebagai slope).

1. 3. Analisis Contoh Campuran

Komposisi campuran yang diberikan ditetapkan dengan jalan mengukur absorbans larutan itu pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. A. HASIL

1. Pengukuran Absorbansi Larutan KMnO4 dan K2Cr2O7 dengan Spektrofotometer Spektronik-20
No l



(nm)
Absorbansi (A)
KMnO4



10-4 M
K2Cr2O7 5.10-4 M
1. 400 0,1952 -0,0119
2. 410 0,1512 0,0052
3. 420 0,1124 -0,0069
4. 430 0,0747 -0,0043
5. 440 0,0458 -0,0035
6. 450 0,0278 -0,0026
7. 460 0,0223 -0,0052
8. 470 0,0241 -0,0026
9. 480 0,0195 -0,0052
10. 490 0,0186 -0,0035
11 500 0,0186 -0,0009
12. 510 0,0106 -0,0035
14. 520 0,0088 -0,0009
15. 530 0,0061 -0,0043
16. 540 0,0088 -0,0043
17. 550 0,0088 -0,0017
18. 560 0,0061 0,0017
19. 570 -0,0009 -
20. 580 0 -
21. 590 0,0009 -

2. Pengukuran Absorbansi Larutan KMnO4 dengan Berbagai Konsentrasi
No [KMnO4]



Absorbansi (A)
l = 400 nm l = 410 nm
1. 0,25 x10-5 0,0195 0,0778
2. 0,5 x10-5 0,0306 0,0757
3. 1 x10-5 0,0757 0,0685
4. 2 x10-5 0,0937 0,0904
5. 3 x10-5 0,1146 0,1068

3. Pengukuran Absorbansi Larutan K2Cr2O7 dengan Berbagai Konsentrasi
No [K2Cr2O7]



Absorbansi (A)
l =400 nm
1. 2,5×10-5 0,0009
2. 5 x10-5 0,0269
3. 1 x10-4 0,0079
4. 2 x10-4 0,0205

4. Analisis Campuran KMnO4 dengan K2Cr2O7
λ (nm) %T A
400



410
82,6



82,6
0,0830



0,0830

GRAFIK

Grafik 1. Hubungan panjang gelombang dengan nilai absorbansi pada KMnO4 10-4 M

Grafik 2. Hubungan panjang gelombang dengan nilai absorbansi pada K2Cr2O7 5.10-5 M

Grafik 3. Hubungan konsentrasi dengan panjang gelombang larutan KMnO4 pada 400 nm

Grafik 4. Hubungan konsentrasi dengan panjang gelombang larutan KMnO4 pada 410 nm

Grafik 5. Hubungan konsentrasi dengan panjang gelombang larutan K2Cr2O7 pada 400 nm

Grafik 6. Hubungan konsentrasi dengan panjang gelombang larutan K2Cr2O7 pada 410 nm

Perhitungan

Diketahui :

persamaan regresi linier:

y = ax + b

a = k

k11 = 3425,38

k12 = 1174,62

k21 = 20,24

k22 = -47,14

Sampel X: A1 = 0,082

A2 = 0,082

Ditanya : C1 dan C2 pada sampel X ?

Jawab :

# Pengenceran Larutan KMnO4

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 0,25.10-5 M = V2 . 10-4

V2 = 0,5 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 0,5.10-5 M = V2 . 10-4

V2 = 1 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 1.10-5 M = V2 . 10-4

V2 = 2 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 2.10-5 M = V2 . 10-4

V2 = 4 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 3.10-5 M = V2 . 10-4

V2 = 6 mL

# Pengenceran Larutan K2Cr2O7

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 0,5.10-4 M = V2 . 10-3

V2 = 1 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 1.10-4 M = V2 . 10-3

V2 = 2 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 2.10-4 M = V2 . 10-3

V2 = 4 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 4.10-4 M = V2 . 10-3

V2 = 8 mL

V1 . M1 = V2 . M2

20 mL. 8.10-4 M = V2 . 10-3

V2 = 16 mL

# Perhitungan C1 dan C2 pada sampel

A1 = k11 C1 + k12 C2

A2 = k21 C1 + k22 C2

0, 082 = 3425,38C1+ 1174,62C2 x -47,14

0, 082 = 20,24C1 + (- 47,14)C2 x 1174,62

-3,86 =-161472,41C1+(-55371,59C2)

96,32= 23774,31C1+(-55371,59C2)

- 100,18 = -185246,72 C1

C1 = -100,18/-185246,72

= 5,408×10-4

Jadi, nilai C1 adalah 5,408×10-4 M

Nilai C2:

0, 082 = 20,24(5,408×10-4) + (- 47,14)C2

0, 082= (0,01095) + (- 47,14)C2

47,14C2 = 0,01095 - 0,082

C2 = -0,0711/47,14

= -1,51×10-3

Jadi, nilai C2 adalah -1,51×10-3 M

1. B. Pembahasan
1. 1. Spektrofotometer Spektronik-20

Gambar Spektrofometer Spektronik-20

Spektronik-20 yang ditunjukkan pada gambar di atas pada hakekatnya terdiri dari monokromator kisi-difraksi dan sistem deteksi elektronik, amplifikasi dan pengukuran. Spektronik-20 merupakan spektrometer visible yang susunannya menggunakan satu berkas tunggal (single beam). Spektrofotometer jenis ini memiliki susunan paling sederhana yang terdiri dari sumber sinar, monokromator, kisi difraksi dan sistem pembacaan secara langsung.

Cahaya putih dari lampu wolfram difokuskan oleh lensa A ke celah masuk; lensa B mengumpulkan cahaya dari celah masuk itu dan memfokuskan ke celah keluar setelah dipantulkan dan didespersikan oleh kisi difraksi untuk memperoleh berbagai panjang gelombang. Cahaya monokromatik yang menembus celah keluar melewati sampel yang akan diukur dan jatuh ke tabung foto.

2. Keaditifan Absorbansi Larutan KMnO4 dan K2Cr2O7

Panjang gelombang maksimum dapat diketahui dengan melihat nilai absorbansi maksimum yang terukur pada spektronik-20 untuk panjang gelombang tertentu. Larutan yang digunakan sebagai larutan standar adalah larutan KMnO4 dan larutan K2Cr2O7. Masing-masing larutan dengan volume tertentu diencerkan hingga menjadi larutan standar dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Untuk larutan KMnO4 diencerkan dengan menambahkan H2SO4. Pengenceran dengan mengguanakan H2SO4 adalah untuk memberikan suasana asam pada larutan tersebut sehingga tidak terbentuk zat pengganggu seperti MnO2, sedangkan untuk larutan K2Cr2O7 diencerkan dengan aquades.

Larutan standar dibuat dengan maksud untuk membuat kurva standar atau kurva kalibrasi sehingga nanti akan diperoleh panjang gelombang maksimum dari larutan standar tersebut. Kenapa panjang gelombang maksimum yang dipilih, hal ini karena di sekitar panjang gelombang maksimum tersebut, bentuk kurva serapan adalah datar sehingga hukum Lambert-Beer akan terpenuhi dengan baik sehingga kesalahan yang ditimbulkan pada panjang gelombang maksimum dapat diperkecil.

Larutan KMnO4 dan larutan K2Cr2O7 menghasilkan warna komplementer yang dapat menyerap cahaya. Warna-warna ini ditimbulkan oleh adanya panjang gelombang yang dimiliki larutan tersebut. Setiap warna memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda dengan interval tertentu.

Dari hasil pengamatan diperoleh panjang gelombang maksimum untuk larutan standar KMnO4 adalah 400 nm dan untuk larutan standar K2Cr2O7 adalah 410 nm.

3. Nilai K

Nilai k dapat ditentukan dengan cara mengukur absorbans dari larutan-larutan dengan konsentrasi yang berbeda yang telah diencerkan sebelumnya pada panjang gelombang maksimum tersebut. Nilai k ditentukan dari kemiringan kurva standar hubungan absorbansi dengan konsentrasi larutan.

Penentuan nilai k pada larutan standar KMnO4 dan K2Cr2O7 dilakukan pada konsentrasi yang sangat kecil. Hal ini bertujuan agar absorbans yang dihasilkan sangat kecil pada panjang gelombang maksimum kedua larutan standar tersebut. Untuk memperoleh konsentrasi yang kecil, maka pada percobaan ini larutan KMnO4 diencerkan menggunakan asam sulfat sebagai pelarutnya, sedangkan larutan K2Cr2O7 menggunakan akuades sebagai pelarutnya.

Nilai k yang diperoleh dari percobaan ini yaitu nilai k dari grafik hubungan absorban KMnO4 vs konsentrasi pada panjang gelombang 400 nm adalah 3425,38 dan pada panjang gelombang 410 nm diperoleh nilai k sebesar 1174,62. Sedangkan nilai k yang diperoleh dari grafik hubungan absorban K2Cr2O7 vs konsentrasi pada panjang gelombang 400 nm adalah 20,24 dan pada panjang gelombang 410 nm diperoleh nilai k yaitu -47,14.

4. Analisis Contoh Campuran

Sampel yang akan ditentukan konsentrasinya, dapat dianalisis dengan menggunakan spektronik-20 pada panjang gelombang maksimum suatu larutan standar. Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat diperoleh komposisi dari larutan sampel X yaitu sebesar C1= 5,408×10-4 M dan C2= -1,51×10-3 M. Nilai negatif tersebut disebabkan oleh adanya kesalahan baik dalam pengambilan data maupun pada prosedur kerja yang keliru. Dari hasil pengukuran diperoleh absorbans sampel pada panjang gelombang KMnO4 (400 nm) sebesar 0,1952 dan pada panjang gelombang K2Cr2O7 (410 nm) sebesar 0,0052.

KESIMPULAN

Penentuan keaditifan serta penentuan panjang gelombang maksimum larutan KMnO4 dan K2Cr2O7 dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer khususnya dengan spektronik-20 yakni dengan melihat nilai absorbansi maksimum yang terukur pada spektronik-20 untuk panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang maksimum larutan KMnO4 10-4 M adalah 400 nm dan larutan K2Cr2O7­­ 10-3 M adalah 410 nm dengan nilai K yang diperoleh dari keempat grafik tersebut adalah 3425,38; 1174,62; 20,24 dan -47,14 dan nilai C1 dan C­2 yang diperoleh dari larutan campuran atau larutan contoh pada panjang gelombang maksimum adalah sebesar 5,408×10-4 M dan -1,51×10-3 M.

REFERENSI

1. Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. EGC. Jakarta.
2. Underwood, A. L. 1990. Analisis Kimia Kiantitatif Edisi ke Enam. Erlangga. Jakarta.
3. Khopkar, SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
4. Fessenden dan Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
5. Henry, A, Suryadi MT & Arry Yanuar. 2002. Analisis spektrofotometri UV-Vis pada obat influenza dengan menggunakan aplikasi sistem persamaan linier. Proceedings, Komputer dan Sistem Intelijen Auditorium Universitas Gunadarma. Jakarta.
6. Riwandi, 2002. Sifat Kimia Gambut dan Derivat Asam Fenolat : Komposisi Unsur vs Spektra UV-VIS Ekstrak Gambut dengan Natrium-Pirofosfat. Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Bengkulu.
7. Salem, Hesham. 2005. Spectrofluorimetric, Atomic Absorption Spectrometric and Spectrophotometric Determination of Some Fluoroquinolones. Department of Analytical Chemistry, Faculty of Pharmacy Minia University, Egypt.

ANALISIS Cd DAN Cu DENGAN METODE SPEKTROFOMETRI SERAPAN ATOM

ABSTRAK
Percobaan menganalisis Cd dan Cu ini, merupakan percobaan yang menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS). Tujuan yang ingin dicapai pada percobaan ini adalah untuk menentukan kadar Cd dan Cu pada sampel dengan menggunakan spektrofometri serapan atom. Spektrofometri serapan atom merupakan salah satu metode analisis kuantitatif untuk penentuan kadar logam. Pada percobaan ini, larutan standar Cd dan larutan standar Cu dengan konsentrasi yang berbeda-beda yang dihasilkan dari pengenceran larutan induk, akan dianilisis absorbansinya untuk menghasilkan konsentrasi larutan sampel yang belum diketahui. Kadar Cd dan Cu dalam sampel yang dihasilkan dari perhitungan yaitu untuk sampel dari sungai Martapura sungai Barito, sungai Ruin, sumur Mandiangin, sumur Karang Intan, sumur Gambut, sumur Loktabat, sumur Pelaihari, sumur Coca Cola, sumur Banjarbaru dan sampel x yang mengandung Cd berturut-turut yaitu -0,1276 mg/L; -0,1229 mg/L; -0,1233 mg/L; -0,1271 mg/L; -0,1289 mg/L; -0,1207 mg/L; -0,1349 mg/L; -0,1349 mg/L; -0,1319 mg/L dan 0,2025 mg/L. Sedangkan untuk sampel yang mengandung Cu yaitu -0,0539 mg/L; -0,0556 mg/L; -0,0539 mg/L; -0,0539 mg/L; -0,0605 mg/L m; -0,0441 mg/L; -0,0556 mg/L; -0,0474 mg/L; -0,0507 mg/L; -0,0408 mg/L dan 0,119875.

Kata Kunci : Spektrofometri Serapan Atom, Larutan standar Cd, Larutan standar Cu.
PENDAHULUAN

Keberadaan Cu di lingkungan perlu mendapat perhatian mengingat kecilnya batas konsentrasi yang diijinkan. Berdasarkan keputusan menteri negara KLH Kep. 02/ Men-KLH/1998 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, keberadaan Cu dalam lingkungan diharapkan nihil, sedangkan batas maksimal yang diperbolehkan adalah 1 ppm. Mengingat kecilnya batas konsentrasi yang diperbolehkan dan pengaruh dari toksisitas logam berat Cu, maka diperlukan adanya metode analisis yang memiliki ketelitian dan ketepatan tinggi. Metode analisis kuantitatif yang dapat dilakukan adalah sensor kimia berbasis reagen kering yang dideteksi secara spektrofotometri. Analisis dilakukan dengan mengukur absorban dari komplek tersebut pada daerah tampak, sehingga besarnya radiasi sinar tampak yang diserap akan sebanding dengan konsentrasi analit [1].
Peristiwa serapan atom pertama kali diamati oleh Fraunhofer, ketika menelaah garis-garis hitam pada spectrum matahari. Sedangkan yang memanfaatkan prinsip serapan atom pada bidang analisis adalah seorang Australia bernama Alan Walsh di tahun 1955. Sebelumnya ahli kimia banyak bergantung pada cara-cara spektrofotometrik atau metode analisis spektrografik. Beberapa cara ini yang sulit dengan memakan waktu, kemudian digantikan dengan spektrofotometri serapan atom atau atomic absroption spectroscopy (AAS) [2].
Spektrofotometri molekuler pita absopsi inframerah dan UV-tampak yang di pertimbangkan melibatkan molekul poliatom, tetapi atom individu juga menyerap radiasi yang menimbulkan keadaan energi elektronik tereksitasi. Spectra absorpsi lebih sederhana dibandingakan dengan spectra molekulnya karena keadaan energi elektronik tidak mempunyai sub tingkat vibrasi rotasi. Jadi spectra absopsi atom terdiri dari garis-garis yang jauh lebih tajam daripada pita-pita yang diamati dalam spektrokopi molekul [3].
AAS didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dalam keadaan gas. Sinar yang diserap biasanya sinar tampak / UV. Prinsip AAS secara garis besar sama dengan spektrofotometer UV-VIS, hanya saja dibedakan atas cara pengerjaan, cuplikan, peralatan dan bentuk spectrum atom. Untuk analisis kuantitatif, AAS mengukur kadar total unsur logam dalam satu cuplikan, tidak bergantung bentuk molekul logam dalam cuplikan [3].
Spektra absorpsi lebih sederhana dibandingkan dengan spectra molekul karena keadaan elektronik tidak mempunyai sub tingkatan vibrasi-rotasi. Spectra absorpsi atom terdiri dari garis-garis yang lebih tajam daripada pira-pita yang diamati dalam spektroskopi molekuler. Absorpsi atom telah dikenal bertahun-tahun yang lalu. Misalnya garis-garis gelap pada frekuensi tertentu dalam spectrum matahari yang tanpa garis itu akan kontinu, pertama kali diperhatikan oleh Wallaston dalam tahun 1802 [4].
Selama bertahun-tahun detector uap raksa mewakili analitis utama dari absorpi atom. Tekanan uap raksa logam cukup besar sehingga membahayakan kesehatan dalam ruang yang ventilasinya tidak memadai. Detector-detektor itu pada dasarnya adalah spektrofotometer primitive, dimana sumbernya adalah sebuah lampu uap raksa bertekanan rendah. Atom-atom raksa yang dieksitasi dalam discas listrik dari lampu itu, memencarkan radiasi bila mereka kembali ketingkatan elektronik yang lebih rendah. Radiasi itu bukan suatu kontinum melainkan terdiri dari frekuensi-frekuensi diskrit yang menyatakan transisi elektronik dalam atom raksa [5].


Gambar 1. Skema umum SSA
Keterangan :
A. Sumber cahaya
B. Gas nyala dan pembakar
C. Monokromator
D. Detektor
E. Amplifier
F. Sistem pembacaan
Spektroskopi serapan atom (SSA) melibatkan penguapan contoh, seringkali dengan menyemprotkan suatu larutan contoh ke dalam suatu lampu listrik yang menghasilkan spektrum dari unsur yang akan ditetapkan. Atom logam bentuk gas normalnya tetap berada dalam keadaan tek terkesitasi, atau dengan perkataan lain dalam keadaan dasar, mampu menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansi yang khas untuknya, yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atom-atom itu bila terkesitasi dari keadaan dasar. Jadi, jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Inilah asas yang mendasari spektroskopi serapan atom [5].
Mineral-mineral bersifat alam terjadi zat anorganik dengan suatu komposisi kimia secara relatif tetap dan cukup baik dari sifat fisika. Selama periode-periode panjang berhubungan dengan geologi tidaklah mungkin untuk memperoleh mutlak mineral-mineral murni tanpa pencemaran, [alat; makna] yang bahwa paling mineral-mineral berisi unsur pokok ucapan tambahan bahwa mengubah sebagian dari karakteristik mereka. Ada sejumlah unsur-unsur yang sungguh dengan mudah yang dapat bertukar tempat, dengan mineral yang itu hasil boleh menyusun dan menilai ke dalam yang lain [6].
Oleh karena itu, ada banyak pertimbangan untuk meneliti unsur kelumit di mineral-mineral dierent: untuk menentukan kemurnian mineral-mineral, dan untuk menentukan kehadiran dari unsur-unsur penting dan yang sangat jarang yang bisa yang disadap dan digunakan untuk memperoleh data yang memberi informasi sangat penting tentang analisis mineral-mineral tersebut yaitu spektroskopi serapan atom atau atomic absroption spectroscopy (AAS) [6].

METODOLOGI PERCOBAAN
A. Alat
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah spektrofotometer serapan atom, labu ukur 100 ml, kuvet, botol semprot, pipet tetes dan pipet volume 10 ml, 5 ml, botol sampel.
B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah larutan standar Cd : 0,2 mg/L, 0,4 mg/L, 0,6 mg/L, 0,8 mg/L dan 1 mg/L, larutan standar Cu 0,5 mg/L, 1 mg/L, 1,5 mg/L, 2 mg/L dan 2,5 mg/L, HNO3 pekat, sampel air dari air sumur Martapura, air sumur Barito, air sumur kuin, air sumur mandiangin, air sumur daerah Karang Intan, air sumur daerah Gambut, air sumur Loktabat, air sumur Pelaihari, air sumur perusahaan Coca-cola, dan air sumur Banjarbaru, akuades.


1. C. Cara kerja
2. 1. Pengenceran Larutan Induk Cd 100 ppm
Mengencerkan Larutan induk Cd 100 mg/L menjadi 10 mg/L dalam 100 ml larutan. Kemudian membuat larutan standar dari larutan Cd 10 ppm pada konsentrasi 0,2 ; 0,4 ; 0,6 ; 0,8 dan 1 mg/L yang diencerkan dengan asam nitrat.
1. 2. Pengenceran Larutan Induk Cu 1000 ppm
Larutan induk Cu 1000 ppm diencerkan menjadi 100 ppm dan 10 ppm dalam 100 ml larutan. Kemudian dibuat larutan standar dari larutan Pb 100 ppm pada konsentrasi 0,5 ; 1 ; 1,5 ; 2 dan 2,5 ppm yang diencerkan dengan asam nitrat.
1. 3. Pengukuran Absorbans Dengan AAS
Larutan standar Cd dan larutan standar Cu serta sampel yang mengandung Cd dan Cu, diukur absorbansnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. A. HASIL
Tabel 1. Pengukuran absorbansi larutan standar Cd
C (mg/L) A
0,2
0,4
0,6
0,8
1 0,09525
0,14125
0,202
0,25725
0,3285
Tabel 2. Pengukuran absorbansi larutan standar Cu
C (mg/L) A
0,5
1
1,5
2
2,5 0,086
0,16025
0,23875
0,323
0,3875
Tabel 3. Konsentrasi Larutan Standar
Sampel Cd Cu
Sungai Martapura
Sungai Barito
Sungai Kuin
Sumur Mandiangin
Sumur Karang Intan
Sumur Gambut
Sumur Loktabat
Sumur Pelaihari
Sumur Coca Cola
Sumur Banjarbaru -0,007125
-0,00575
-0,005875
-0,007
-0,0075

-0,00512
-0,00925
-0,00925
-0,009
-0,008375 0,00075
0,0005
0,00075
0,00075
-0,00025

0,00225
0,0005
0,00175
0,00125
0,00275
Sampel X 0,119875 0,2025
GRAFIK
Grafik 1. Hubungan antara absorbans dengan konsentrasi larutan standar Cd
Grafik 2. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi larutan Cu
Perhitungan
Analisis untuk Cd :
y = 0,291x + 0,030
1. 1. Sampel sungai martapura
A = -0,007125
-0,007125 = 0,291x + 0,030
0,291x = -0,037125
x = -0,1276 mg/L
2. Sampel sungai barito
A = -0,00575
-0,00575= 0,291x + 0,030
0,291x = -0,03575
x = -0,1229 mg/L

3. Sampel sungai kuin
A = -0,005875
-0,005875= 0,291x + 0,030
0,291x = -0,035875
x = -0,1233 mg/L

4. Sampel sumur mandiangin
A = -0,007
-0,007= 0,291x + 0,030
0,291x = -0,037
x = -0,1271 mg/L

5. Sampel sumur karang intan
A = -0,0075
-0,0075 = 0,291x + 0,030
0,291x = -0,0375
x = -0,1289 mg/L

6. Sampel sumur gambut
A = -0,00512
-0,00512 = 0,291x + 0,030
0,291x = -0,03512
x = -0,1207 mg/L

7. Sampel sumur loktabat
A = -0,00925
-0,00925= 0,291x + 0,030
0,291x = -0,03925
x = -0,1349 mg/L

8. Sampel sumur pelaihari
A = -0,00925
-0,00925 = 0,291x + 0,030
0,291x = -0,03925
x = -0,1349 mg/L

9. Sampel sumur coca cola
A = -0,009
-0,009 = 0,291x + 0,030
0,291x = -0,039
x = -0,1340 mg/L

10. Sampel sumur banjarbaru
A = -0,008375
-0,008375 = 0,291x + 0,030
0,291x = -0,038375
x = -0,1319 mg/L

11. Sampel x
A = 0,119875
0,119875 = 0,291x + 0,030
0,291x = 0,089875
x = 0,3088 mg/L

Anailisis untuk Cu :
y = 0,153x + 0,009
1. 1. Sampel sungai martapura
A = 0,00075
0,00075= 0,153x + 0,009
0,153x = -0,00825
x = -0,0539 mg/L
2. Sampel sungai barito
A = 0,0005
0,0005= 0,153x + 0,009
0,153x = -0,0085
x = -0,0556 mg/L

3. Sampel sungai kuin
A = 0,00075
0,00075= 0,153x + 0,009
0,153x = -0,00825
x = -0,0539 mg/L

4. Sampel sumur mandiangin
A = 0,00075
0,00075= 0,153x + 0,009
0,153x = -0,00825
x = -0,0539 mg/L

5. Sampel sumur karang intan
A = -0,00025
-0,00025 = 0,153x + 0,009
0,153x = 0,00925
x = -0,0605 mg/L

6. Sampel sumur gambut
A = 0,00225
0,00225 = 0,153x + 0,009
0,153x = -0,00675
x = -0,0441 mg/L

7. Sampel sumur loktabat
A = 0,0005
0,0005 = 0,153x + 0,009
0,153x = -0,0085
x = -0,0556 mg/L

8. Sampel sumur pelaihari
A = 0,00175
0,00175= 0,153x + 0,009
0,153x = -0,00725
x = -0,0474 mg/L

9. Sampel sumur coca cola
A = 0,00125
0,00125 = 0,153x + 0,009
0,153x = -0,00775
x = -0,0507 mg/L

10. Sampel sumur banjarbaru
A = 0,00275
0,00275 = 0,153x + 0,009
0,153x = -0,00625
x = -0,0408 mg/L

11. Sampel x
A = 0,2025
0,2025 = 0,153x + 0,009
0,153x = 0,1935
x = 1,2647 mg/L











B. Pembahasan
1. Spektrofotometer Serapan Atom (AAS)

Gambar 2. Spektrofometer Serapan Atom (AAS)
Prinsip Kerja Instrumen:
Prinsip spektroskopi serapan atom (SSA) yaitu melibatkan penguapan contoh, seringkali dengan menyemprotkan suatu larutan contoh ke dalam suatu lampu listrik yang menghasilkan spektrum dari unsur yang akan ditetapkan. Atom logam bentuk gas normalnya tetap berada dalam keadaan terkesitasi, atau dengan perkataan lain dalam keadaan dasar, mampu menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansi yang khas untuknya, yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atom-atom itu bila terkesitasi dari keadaan dasar. Jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala.
2. Pengenceran Larutan Induk Cd dan Cu
Pada percobaan ini, larutan induk Cd 100 mg/L diencerkan menjadi 10 mg/L dalam 100 ml larutan dan larutan induk Cu 100 mg/L diencerkan menjadi 10 mg/L dalam 100 ml larutan. Kemudian dibuat larutan standar pada konsentrasi yang berbeda-beda yang diencerkan dengan aquades untuk menganalisis absorbansnya dengan menggunakan AAS. Konsentrasi larutan standar Cd yaitu 0,2 mg/L, 0,4 mg/L, 0,6 mg/L, 0,8 mg/L dan 1 mg/L. Sedangkan konsentrasi untuk larutan standar Cu yaitu 0,5 mg/L, 1 mg/L, 1,5 mg/L, 2 mg/L dan 2,5 mg/L. Fungsi dari larutan standar ini adalah sebagai standar dalam pengukuran alat yang nantinya hasilnya akan diplotkan pada kurva standar untuk menentukan nilai regresi dari kurva jika nilai regresi tersebut mendekati 1 maka keakuratan hasil perhitungan yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan atau jika dilakukan pengulangan akan memiliki hasil yang hampir sama.
Logam-logam yang mudah diuapkan seperti Cd umumnya ditentukan pada suhu rendah sedangkan untuk unsur-unsur yang tidak mudah diatomisasikan diperlukan suhu tinggi. Suhu tinggi dapat dicapai dengan menggunakan suatu oksidator bersama dengan gas pembakar, contohnya atomisasi unsur seperti Al, Ti, Be tanah jarang perlu menggunakan nyala oksiasetilena atau nyala nitrogen oksida asetilena sedangkan untuk atomisasi unsur alkali yang membentuk refraktori harus menggunakan campuran asetilena udara.
3. Pengukuran absorbans dengan AAS
Untuk penentuan kadar dari Cd dan Cudalam percobaan ini, digunakan instrumen Spektroskopi Serapan Atom (AAS). Spektroskopi serapan atom menggunakan lampu sesuai panjang gelombang maksimum yang dapat menyerap sampel secara maksimal. Metode yang digunakan pada AAS, sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah, sehingga untuk keperluan analisis ini zat yang ingin dianalisis ditetapkan dalam satuan ppm. Absorbansi menunjukkan kemampuan sampel untuk menyerap radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang maksimum
Absorbans yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi larutan standar yaitu semakin besar konsentrasi yang digunakan, maka absorbansnya juga semakin besar. Setelah didapatkan absorbans dari larutan standar, maka dibuat grafik hubungan antara konsentrasi dengan absorbans yang kemudian dihasilkan regresi linear. Nilai regresi linear (R) dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi larutan sampel. Regresi linear yang mendekati 1, maka absorbans yang dihasilkan sudah cukup baik (mendekati kebenaran). Dari data larutan standar Cd dan Cu, maka dapat dibuat kurva kalibrasi konsentrasi versus absorbansi. Dari hasil pengukuran didapat kurva kalibrasi standar linier, kurva kalibrasi ini nantinya digunakan untuk menentukan konsentrasi sampel yang terukur sebenarnya dengan menggunakan persamaan regresi linier yaitu Y = bx + a, maka diperoleh b (Slope) = 0,291 dan a (intersep) = 0,030. Persamaan linier pada Cd adalah y = 0,291x + 0,030 dimana Y adalah absorbansi dan X adalah konsentrasi dengan nilai regresi R = 0,995. Sedangkan pada larutan standar Cu diperoleh b (slope) = 0,153 dan a (intersep) = 0,009 sehingga didapat persamaan linier untuk Cu adalah y = 0,153x + 0,009 dengan nilai regresi R = 0,998. Kedua grafik tersebut mendekati linear dengan nilai R mendekati 1, yang berarti hasil per grafik tersebut sudah memenuhi hukum Lambert-Beer.
Ditinjau dari hubungan antara konsentrasi dan absorbansi, maka hukum Lambert-Beer dapat digunakan jika sumbernya adalah monokromatis. Pada AAS, panjang gelombang garis adsorpsi resonansi identik dengan garis-garis emisi disebabkan keserasian transisinya. Untuk bekerja pada panjang gelombang ini diperlukan suatu monokromator celah yang menghasilkan lebar puncak sekitar 0,002-0,005 nm.
Pada pengukuran absorbansi larutan sampel 1 sampai sampel 11 air sungai martapura, sungai barito, sungai kuin, sumur mandiangin, sumur karang intan, sumur gambut, sumur loktabat, sumur pelaihari, pabrik cocacola, sumur banjarbaru dan sampel x menggunakan larutan standar Cd maka didapatkan nilai untuk sampel 1 sampai dengan sampel 11 nilai x adalah : -0,1276 mg/L; -0,1229 mg/L; -0,1233 mg/L; -0,1271 mg/L; -0,1289 mg/L; -0,1207 mg/L; -0,1349 mg/L; -0,1349 mg/L; -0,1319 mg/L dan 0,3088 mg/L. Sedangkan untuk sampel yang menggunakan larutan standar Cu maka didapatkan pada sampel 1 sampai dengan sampel 11 nilai x adalah : -0,0539 mg/L; -0,0556 mg/L; -0,0539 mg/L; -0,0539 mg/L; -0,0605 mg/L; -0,0441 mg/L; -0,0556 mg/L; -0,0474 mg/L; -0,0507 mg/L; -0,0408 mg/L dan 1,2647 mg/L.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh untuk sampel air yang mengandung logam Cd yang paling tinggi terdapat pada sampel x dengan konsentrasi sebesar 0,3088 mg/L. Sedangkan untuk sampel air yang mangandung logam Cu yang paling tinggi juga terdapat pada sampel x yaitu dengan konsentrasi 1,2647 mg/L.
Kadar dalam sampel yang dihasilkan ada yang bernilai negatif, hal ini mungkin disebabkan oleh pengenceran yang kurang tepat dan kemungkinan besar tidak terdapat kandungan Cd dan Cu atau kandungannya relatif sangat kecil. Analisis dengan menggunakan spektrofotometer (AAS) serapan atom harus benar-benar kuantitatif sehingga diperoleh hasil yang maksimal. AAS merupakan instrumen yang sangat peka mengenai batas-batas konsentrasi yang dideteksi.
Gangguan utama dalam absorpsi atom adalah efek matriks yang mempengaruhi proses pengatoman. Baik jauhnya disosiasi menjadi atom-atom pada suatu temperatur tertentu maupun laju proses sangat bergantung pada komposisi dari sampel yang digunakan. Larutan standar yang sangat mirip dengan sampel tidak diketahui dalam hal komposisi umum, sehubungan dengan komponen-komponen yang berada dengan kuantitas besar. Dalam hal ini diharapkan varisai dalam komposisi keseluruhan dari satu ke lain sampel, umumnya diinginkan agar yang menganalisa dapat menciptakan sendiri matriksnya dengan sesuatu bahan seukupnya untuk menenggelamkan variasi sampel.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan yang dilakukan bahwa hubungan antara absorbansi dengan larutan konsentrasi larutan standar Cu maka didapatkan persamaan y = 0,153x + 0,009, sedangkan hubungan antara absorbansi dengan larutan standar Cd maka didapatkan persamaan y = 0,291x + 0,030 dan berdasarkan hasil perhitungan diperoleh untuk sampel air yang mengandung logam Cd yang paling tinggi terdapat pada sampel x dengan konsentrasi sebesar 0,3088 mg/L. Sedangkan untuk sampel air yang mangandung logam Cu yang paling tinggi juga terdapat pada sampel x yaitu dengan konsentrasi 1,2647 mg/L.

REFERENSI
1. Solecha, D.I & Bambang Kuswandi. 2002. Penentuan Ion Cu(II) dalam Sampel Air Secara Spektrofotometri Berbasis Reagen Kering TAR/PVC. FMIPA, Universitas Jember.
2. Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia, Jakarta.
3. Underwood, A.L, & Day R. A. 2001. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.
4. Day, R.A Jr. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta.
5. Bassett, J. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. Stafilov, Trajce dan Dragica Zendelovska. 2002. Determination of Trace Elements in Iron Minerals by Atomic Absorption Spectrometry. Turk J Chem, Macedonia.

Sumber: http://annisanfushie.wordpress.com

Titrasi Iodometri

Sumber:

http://annisanfushie.wordpress.com

IODOMETRI DAN IODIMETRI

I. TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan percobaan praktikum ini adalah untuk menentukan kadar tembaga dalam kristal CuSO4.5 H2O.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi.Berarti proses oksidasi disertai hilangnya elektron sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling menkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada atomnya saja (Khopkar, 2003).

Oksidator lebih jarang ditentukan dibandingkan reduktor. Namin demikian, oksidator dapat ditentukan dengan reduktor. Reduktor yang lazim dipakai untuk penentuan oksidator adalah kalium iodida, ion titanium(III), ion besi(II), dan ion vanadium(II). Cara titrasi redoks yang menggunakan larutan iodium sebagai pentiter disebut iodimetri, sedangkan yang menggunakan larutan iodida sebagai pentiter disebut iodometri (Rivai, 1995).

Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodimetrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Reaksi antara iodium dan tiosulfat berlangsung secara sempurna (Underwood, 1986).

Iodium hanya sedikit larut dalam air (0,00134 mol per liter pada 25 0C), tetapi agak larut dalam larutan yang mengandung ion iodida. Larutan iodium standar dapat dibuat dengan menimbang langsung iodium murni dan pengenceran dalam botol volumetrik. Iodium, dimurnikan dengan sublimasi dan ditambahkan pada suatu larutan KI pekat, yang ditimbang dengan teliti sebelum dan sesudah penembahan iodium. Akan tetapi biasanya larutan distandarisasikan terhadap suatu standar primer, As2O3 yang paling biasa digunakan. (Underwood, 1986).

Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyakan proses iodometrik adalah natrium tiosulfat. Garam ini biasanya tersedia sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi terhadap standar primer. Larutan natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Sejumlah zat padat digunakan sebagai standar primer untuk larutan natrium tiosulfat. Iodium murni merupakan standar yang paling nyata, tetapi jarang digunakan karena kesukaran dalam penanganan dan penimbangan. Lebih sering digunakan pereaksi yang kuat yang membebaskan iodium dari iodida, suatu proses iodometrik (Underwood, 1986).

Metode titrasi iodometri langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (kadang-kadang dinamakan iodometri), adlaah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia. Potensial reduksi normal dari sistem reversibel:

I2(solid) 2e 2I-

adalah 0,5345 volt. Persamaan di atas mengacu kepada suatu larutan air yang jenuh dengan adanya iod padat; reaksi sel setengah ini akan terjadi, misalnya, menjelang akhir titrasi iodida dengan suatu zat pengoksid seperti kalium permanganat, ketika konsentrasi ion iodida menjadi relatif rendah. Dekat permulaan, atau dalam kebanyakan titrasi iodometri, bila ion iodida terdapat dengan berlebih, terbentuklah ion tri-iodida:

I2(aq) + I- I3-

Karena iod mudah larut dalam larutan iodida. Reaksi sel setengah itu lebih baik ditulis sebagai:

I3- + 2e 3I-

Dan potensial reduksi standarnya adalah 0,5355 volt. Maka, iod atau ion tri-iodida merupakan zat pengoksid yang jauh lebih lemah ketimbang kalium permanganat, kalium dikromat, dan serium(IV) sulfat (Bassett, J. dkk., 1994).

Dalam kebanyakan titrasi langsung dengan iod (iodimetri), digunakan suatu larutan iod dalam kalium iodida, dan karena itu spesi reaktifnya adalh ion tri-iodida, I3-. Untuk tepatnya, semua persamaan yang melibatkan reaksi-reaksi iod seharusnya ditulis dengan I3- dan bukan dengan I2, misalnya:

I3- + 2S2O32- = 3I- + S4O62-

akan lebih akurat daripada:

I2 + 2S2O32- = 2I- + S4O62-

(Bassett, J. dkk., 1994).

Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga iodium dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri. Iodium juga memberi warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut sebagai karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam daripada larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Underwood, 1986).

III. ALAT DAN BAHAN

A. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah neraca analitik, pipet volum, labu ukur 100 mL, erlenmeyer 250 mL, buret, dan beaker gelas., pipet tetes, dan botol semprot.

  1. B. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah KIO­3, H2SO4 2 N, larutan KI 10%, larutan Na2S2O3, larutan amilum 1%, garam (pembuatan larutan sampel), larutan KCNS atau NH4CNS 10% dan akuades.

  1. IV. PROSEDUR KERJA
    1. A. Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan larutan baku KIO3
    2. Dengan teliti ditimbang 0,35 gram KIO3 dilarutkan dalam akuades kemudian memasukan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml
    3. Sampai batas diencerkan, dipipet 25 ml larutan baku KIO3 dan dimasukan dalam Erlenmeyer
    4. 2 ml H2SO4 2 N dan 10 ml KI 10 %, ditambahkan kemudian dikocok. Larutan ini dititrasi dengan larutan baku Na2S2O3 sampai larutan berwarna kuning muda.
    5. Dengan akuades 25 ml diencerkan dan ditambahkan dengan 4 ml larutan amilum 10 %, titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang.

B. Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2S2O3

  1. Dengan teliti ditimbang ± 1,0 gram garam CuSO4, dilarutkan dalam akuades, dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 mL,
  2. Sampai tanda batas diencerkan, dan mengocok secara sempurna. Diambil 5 mL larutan ke dalam labu ukur 100 mL, mengencerkan dengan akuades sampai tanda batas, dan dikocok sempurna.
  3. 10 mL larutan sampel dipipet, dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, menambahkan 2 mL KI 10%, kemudian dikocok.
  4. I2 yang dihasilkan dititrasi dengan larutan baku thio sampai larutan berwarna kuning muda, kemudian menambahkan 2 mL larutan amilum 1% dan dilanjutkan titrasi sampai warna biru hampir hilang.
  5. 2 mL larutan KCNS 10%, ditambahkan warna biru akan timbul lagi, cepat-cepat dilanjutkan titrasi sampai warna biru tepat hilang. Dilakukan duplo

V. DATA HASIL PENGAMATAN

  1. A. Hasil dan Perhitungan
    1. 1. Hasil
No Langkah percobaan Hasil pengamatan
1. Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan KIO3

-Menimbang 0,35 gr KIO3 + akuades dalam 100 ml labu ukur, Mengencerkan

- 25 ml KIO3 + 3 ml H2SO4 2N+ KI 10%,

mentitrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning muda

+ 2 tetes amilum 1% menitrasi sampai warna biru tepat hilang

Larutan kuning

V titrasi 1 = 0,3 ml

V titrasi 2 = 0,1 ml

V total = 0,4 ml

2. Penentuan Kadar Cu dengan Na2S2O3

a. – Menimbang 1 gr garam

- Melarutkan dalam akuades dan mengencerkan

- 10 ml larutan sampel + 2 ml KI 10% dan mengocok

- Menitrasi sampai warna kuning muda

- + 2 ml amilum 1% dan titrasi

- + 2 tetes KCNS 10%

b. – Menimbang 1 gr garam

- Melarutkan dalam akuades dan mengencerkan

- 10 ml larutan sampel + 2 ml KI 10% dan mengocok

- Menitrasi sampai warna kuning muda

- + 2 ml amilum 1% dan titrasi

- + 2 tetes KCNS 10%

kuning tua menjadi kuning muda

V = 0-3,6 ml

V = 3,6 – 7,7 ml

V = 7,7 – 8,2 ml

Tidak timbul warna biru lagi

V = 0-3,2 ml

V = 3,2 – 7,3 ml

V = 7,3 – 7,9 ml

V total titrasi 1 dan titrasi 2 = 1,1 ml

V rata-rata = 0,55 ml

2. Perhitungan

- Pembuatan Larutan Baku KIO3 0,1N

Massa KIO3 = 0,36 gr

BM KIO3 = 214,0064 gr/mol

V pengenceran = 0,1 L

N KIO3 = ………..?

N KIO3 =

=

= 0,1009 N

- Pembakuan Larutan Baku Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3 0,1N

N KIO3 = 0,1009 N

V KIO3 = 25 mL

V Na2S2O3 = 0,4 mL

N Na2S2O3 = ……..?

N Na2S2O3 =

=

= 6,25N

- Penentuan Kadar Cu2+ dalam CuSO4.5H2O

V Na2S2O3 = 0,55 mL

N Na2S2O3 = 6,25 N

Massa sampel = 1 gr

% Cu2+ dalam sampel = ……?

2 S2O32- + I2 S4O62- + 2I-

2 mgrek S2O32- = mgrek I2

2 (V x N) S2O32- = mol I2 x e I2

mol I2 = 2

= 2

= 0,0034375 mol

Reaksi :

2 Cu2+ + 4 I- 2 CuI- + I2

mol Cu2+ = 2 mol I2

= 2 x 3,4375 x 10-3 mol

= 6,8 x 10-3 mol

massa Cu2+ = mol Cu2+ x BA Cu2+

= 6,8 x 10-3 mol x 63,546 mol

= 0,4321 gr

% Cu dalam sampel =

=

= 43,21 %

B. Pembahasan

Garam KIO3 mampu mengoksidasi iodida menjadi iod secara kuantitatif dalam larutan asam. Oleh karena itu digunakan sebagai larutan standar dalam proses titrasi Iodometri ini. Selain itu juga karena sifat Iod itu sendiri yang mudah teroksidasi oleh oksigen dalam lingkungan sehingga iodida mudah terlepas. Reaksi ini sangat kuat dan hanya membutuhkan sedikit sekali kelebihan ion hidrogen untuk melengkapi reaksinya. Namun kekurangan utama dari garam ini sebagai standar primer adalah bahwa bobot ekivalennya yang rendah. Larutan standar ini sangat stabil dan menghasilkan iod bila diolah dengan asam :

IO3- + 5I- + 6H+ 3 I2 + 3H2O

Larutan KIO3 memiliki dua kegunaan penting, pertama, adalah sebagai sumber dari sejumlah iod yang diketahui dalam titrasi, ia harus ditambahkan kepada larutan yang mengandung asam kuat, ia tak dapat digunakan dalam medium yang netral atau memiliki keasaman rendah. Yang kedua, dalam penetapan kandungan asam dari larutan secara iodometri, atau dalam standarisasi larutan asam keras. Larutan baku KIO3 0,1 N dibuat dengan melarutkan beberapa gram massa kristal KIO3 yang berwarna putih dengan menggunakan aquades dan mengencerkannya.

  1. 1. Pembakuan Larutan Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3

Percobaan ini menggunakan metode titrasi iodometri yaitu titrasi tidak langsung dimana mula-mula iodium direaksikan dengan iodida berlebih, kemudian iodium yang terjadi dititrasi dengan natrium thiosulfat. Larutan baku yang digunakan untuk standarisasi thiosulfat sendiri adalah KIO3 dan terjadi reaksi:

Oksidator + KI I2

I2 + 2Na2S2O3 2NaI + Na2S4O6

Natrium tiosulfat dapat dengan mudah diperoleh dalam keadaan kemurnian yang tinggi, namun selalu ada saja sedikit ketidakpastian dari kandungan air yang tepat, karena sifat flouresen atau melapuk-lekang dari garam itu dan karena alasan-alasan lainnya. Karena itu, zat ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai larutan baku standar primer. Natrium tiosulfat merupakan suatu zat pereduksi, dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

2S2O32- S4O62- + 2e-

Pembakuan larutan natrium tiosulfat dapat dapat dilakukan dengan menggunakan kalium iodat, kalium kromat, tembaga dan iod sebagai larutan standar primer, atau dengan kalium permanganat atau serium (IV) sulfat sebagai larutan standar sekundernya. Namun pada percobaan ini senyawa yang digunakan dalam proses pembakuan natrium tiosulfat adalah kalium iodat standar.

Larutan thiosulfat sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses iodometri ini harus distandarkan terlebih dahulu oleh kalium iodat yang merupakan standar primer. Larutan kalium iodat ini ditambahkan dengan asam sulfat pekat, warna larutan menjadi bening. Dan setelah ditambahkan dengan kalium iodida, larutan berubah menjadi coklat kehitaman. Fungsi penambahan asam sulfat pekat dalam larutan tersebut adalah memberikan suasana asam, sebab larutan yang terdiri dari kalium iodat dan klium iodida berada dalam kondisi netral atau memiliki keasaman rendah. Reaksinya adalah sebagai berikut :

IO3- + 5I- + 6H+ → 3I2 + 3H2O

Indikator yang digunakan dalam proses standarisasi ini adalah indikator amilum 1%. Penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini disebabkan sifat I2 yang mudah menuap. Pada titik akhir titrasi iod yang terikat juga hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru mendadak hilang dan perubahannya sangat jelas. Penggunaan indikator ini untuk memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada saat titik akhir titrasi. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum memiliki kelarutan yang kecil dalam air, sehingga umumnya ditambahkan pada titik akhir titrasi. Jika larutan iodium dalam KI pada suasana netral dititrasi dengan natrium thiosulfat, maka :

I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-

S2O32- + I3- S2O3I- + 2I-

2S2O3I- + I- S4O62- + I3-

S2O3I- + S2O32- S4O62- + I-

Dari hasil perhitungan diketahui besarnya konsentrasi natrium thiosulfat yang digunakan sebagai larutan baku standar sebesar 6,25 N.

  1. 2. Penentuan Kadar Cu2+ dengan Larutan Baku Na2S2O3

Pada penentuan kadar Cu dengan larutan baku Na2S2O3 akan terjadi beberapa perubahan warna larutan sebelum titik akhir titrasi. Tembaga murni dapat digunakan sebagai standar primer untuk natrium thiosulfat dan direkomendasikan jika thiosulfat harus digunakan untuk menetapkan tembaga. Potensial standar pasangan Cu(II) – Cu(I) adalah +0,15 V dan karena itu iod merupakan pengoksidasi yang lebih baik dari pada ion Cu(II). Tetapi bila ion iodida ditambahkan ke dalam larutan Cu(II) akan terbentuk endapan Cu(I).

2Cu2+ + 4I- 2CuI(s) + I2

Penentuan kadar Cu2+ dalam larutan dengan bantuan larutan natrium tiosulfat yang dilakukan mengencerkan 5 mL sampel garam hingga 100 mL dan mengambil 10 mL hasil pengenceran tersebut untuk ditambahkan dengan larutan KI 10% dan menitrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat hingga larutan yang semula berwarna coklat tua menjadi larutan yang berwarna kuning muda. Kemudian larutan tersebut ditambahkan dengan 4 mL larutan amilum 1 % menghasilkan larutan yang semula berwarna kuning muda menjadi biru tua, Penambahan indikator amilum 1% ini dimaksudkan agar memperjelas perubahan warna yang terjadi pada larutan tersebut. kemudian larutan tersebut dititrasi kembali dengan larutan natrium tiosulfat hingga warna biru pada larutan tepat hilang. Untuk lebih memperjelas terjadinya reaksi tersebut, ke dalam larutan ditambahkan amilum. Bertemunya I2 dengan amilum ini akan menyebabakan larutan berwarna biru kehitaman. Selanjutnya titrasi dilanjutkan kembali hingga warna biru hilang dan menjadi putih keruh.

I2 + amilum I2-amilum

I2-amilum + 2S2O32- 2I- + amilum + S4O6-

Hal yang perlu diperhatikan setelah penambahan amilum adalah adanya sifat adsorpsi pada permukaan endapan tembaga(I) iodida. Sifat ini menyebabkan terjadinya penyerapan iodium dan apabila iodium ini dihilangkan dengan cara titrasi, maka titik akhir titrasi akan tercapai terlalu cepat. Oleh karena itu, sebelum titik akhir titrasi tercapai, yaitu pada saat warna larutan yang dititrasi dengan Na2S2O3 akan berubah dari biru menjadi bening, dilakukan penambahan kalium tiosianat KCNS.

Penambahan KCNS menyebabkan larutan kembali berwarna biru. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

2Cu2+ + 2I- + 2SCN- → 2CuSCN ↓ + I2

Endapan tembaga(I) tiosianat yang terbentuk mempunyai kelarutan yang lebih rendah daripada tembaga(I) iodida sehingga dapat memaksa reaksi berjalan sempurna. Selain itu, tembaga(I) tiosianat mungkin terbentuk pada permukaan tembaga(I) iodida yang telah mengendap. Reaksinya sebagai berikut:

CuI­ ↓ + SCN- → CuSCN ↓ + I-

Penambahan larutan KCNS ini bertujuan sebagai larutan yang mengembalikan reaksi penambahan indikator amilum dalam larutan sehingga larutan menjadi kembali biru. Reaksi yang berlangsung adalah

2Cu2+ + 4 I- 2CuI + I2

2S2O32- + I2 S4O62-+ 2I-

dari hasil pengamatan dan perhitungan, didapatkan jumlah volume titrasi larutan natrium tiosulfat yang dibutuhkan untuk merubah larutan dari warna coklat tua menjadi kuning muda setelah penambahan amilum maka larutan menjadi bening dan setelah penambahan KCNS maka larutan menjadi jernih kembali. Dari hasil perhitungan diperoleh massa tembaga pada larutan sampel sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga (%Cu2+) dalam larutan sample tersebut adalah sebesar 43,21 %.

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan, perhitungan dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :

  1. Ada dua cara analisis menggunakan senyawa iodium yaitu titrasi iodimetri atau dengan iodometri dimana iodium terlebih dahulu dioksidasi oleh oksidator misalnya KI.
  2. Kadar tembaga dalam garam CuSO4.5H2O dapat ditentukan dengan cara iodometri.
  3. Indikator yang dipakai adalah amilum karena amilum sangat peka terhadap iodium dan terbentuk kompleks amilum berwarna biru cerah, saat ekivalen amilum terlepas kembali.
  4. Massa tembaga pada larutan diketahui sebesar 0,4321 gram dan kadar tembaga dalam larutan sebesar 43,21 %.

DAFTAR PUSTAKA

Basset. J etc. 1994. Buku Ajar Vogel, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Penerbit UI. Jakarta.